SLIDER

MIMPI HAMIL LAGI

Monday 30 September 2019


Beberapa hari lalu saya mimpi. Kesan mimpinya sih seperti mimpi buruk, karena saya merasa dalam kondisi sangat stres di mimpi itu. Saya mimpi mendapatkan hasil testpack positif disaat sudah punya dua anak dan masih kecil. Hahaha.
Aslinya, saya masih punya anak satu usia 9 bulan, dan hamil lagi bukanlah yang saya harapkan di waktu seperti ini. Bukannya tidak mau punya anak lagi, tapi kalaupun saya ingin punya anak lagi, minimal 4 tahun mendatang deh!

Mimpi itu terpicu, saya yakin karena kekhawatiran yang sebenarnya. Saya belum memilih KB, dan entah kenapa kali ini jadwal menstruasi saya sudah telat lebih dari seminggu! Huhu cemasnya sampai kebawa mimpi kan. Masalahnya saya se-nggak siap itu kalau harus hamil lagi. Bukannya gak bersyukur kalau2 akan diberi anak lagi, tapi jujur secara mental, it possibly will breaks me down. Secara saya juga masih belajar dan beradaptasi dengan anak pertama. Alasan saya belum KB juga agak panjang sih tapi memang saya sudah rencana kok, meski sering tertunda karena banyak hal yang lebih prioritas (lagian KB kan juga usaha suami, gak hanya istri, you know lah hehe).

Sejak masa muda (jiah), saat jadwalnya datang bulan alhamdulillah saya ga pernah terlambat atau pun merasa sakit yang parah banget. Kecuali waktu saya pernah sakit dan operasi kista di rahim (long story). Setelah itu alhamdulillah selalu normal dan tepat waktu. Setelah melahirkan pun ketika sudah datang bulan lagi, jadwal "bulanan" saya lumayan tepat waktu meski agak telat 2-3 hari. Tapi, bulan ini entah kenapa telatnya lama banget. Memang sih menjelang haid ini pola makan saya berantakan. Saya banyak makan cemilan tidak sehat juga, yah.. saya sih berharap hal ini karena ketidakseimbangan hormon saja. Karena saya dan suami pun sudah sangat "berhati-hati".

Wish me luck aja guys.. hahaha.

Baru nikah trus mens:
"Yah... mens..."
Habis punya anak bayi trus mens:
"Fyuuh... alhamdulillah mens"
Wkwk if you know what i mean.

UPDATE: Akhirnya mens setelah mulai rutin lagi minum air rempah-rempah hehehe

GIMANA YA KALAU ANAK MELIHAT "SESUATU"?

Sunday 29 September 2019



Kalau kenal saya pasti tau dari dulu saya suka banget nonton film horror dan thriller. Apalagi pas udah kuliah, bahkan saat hamil pun saya masih suka nonton horror. Bangga banget kalo lagi nonton bareng keluarga, pokoknya jadi yang paling berani deh.

Dari kecil saya tidak pernah memiliki pengalaman mistis, apalagi sampai melihat jin / hantu seperti yang beberapa orang alami. Ya paling hanya hal hal kecil yang bisa dirasionalkan sebagai kejadian alami (science). Di keluargs saya ga pernah ada yang mengalami hal begitu, ga ada keturunan yang "bisa ngeliat". Mungkin ada sih satu dua, tapi mereka ga pernah cerita soal kemampuan ataupun pengalaman mistisnya kepada kami. Makanya saya berani menonton film film seram itu meski sendirian.

Nah mulai deh, habis nikah dan mengenal suami, mertua saya suka cerita kalau dulu waktu kecil suami saya pernah melihat sesuatu lah gitu, dan kejadiannya tidak hanya sekali. Suami saya pun pernah "dibukakan" mata batinnya dan "diperlihatkan" sekilas, lalu ditutup kembali. Dan sampai sekarang kemampuan itupun sudah hilang. Ditambah, adik, ibu dan ya pokoknya ada keturunan lah dalam kemampuan melihat seperti itu.

Nah, yang saya khawatirkan adalah, gimana kalau nanti anak saya juga bisa kayak Akang? Apa saya takut? Gimana nanti sikap saya yang seharusnya? Harus apa?
Haha. (Tertawa miris)

Saat babyA udah lahir, sayapun belum mulai lagi menonton film horror (kalau thriller mungkin sering dengan suami saya). Selain karena saya 24 jam dengan anak, dan sulit untuk punya waktu nonton film, saya udah ga terlalu berani menontonnya karena sehari2 saya hanya berdua dengan anak saya, hahaha (tertawa miris lagi).

Terkadang saya bergidik, apabila anak saya yang masih bayi ini terpaku melihat ke pojok ruangan yang polos, apalagi sambil tersenyum, haha. Belum lagi baru-baru ini dia pernah tepuk tangan ke ruang kosong, lalu tiba2 menangis kencang sampai saya kaget haha (ketawa mirisnya makin menjadi).

Haduh.

Saya tau sih anak bayi itu masih sensitif untuk bisa melihat hal-hal seperti itu. Tapi, apakah itu akan hilang dengan cepat, atau saya harus ngalamin dulu kepanikan ketika dia melihat sesuatu?

Mulai ciut deh wkw.

Apakah babyA akan mengalami seperti suami saya waktu kecil? Gimana nanti kalau udah bisa ngomong ya, apakah bakal ada hal2 aneh yang bikin saya gemeteran?

Asli, please cariin saya ART yang bisa nemenin di rumah sebelum anak saya bisa nunjuk dan ngomong :")

Gimana dengan teman-teman pembaca? Apakah pernah punya kejadian "mistis" bersama anak kecil? hehe

GIMANA SIH RASANYA PUNYA ANAK?

Thursday 26 September 2019



Saya pikir, setelah saya menikah itu hidup saya akan berubah. Saat itu, delapan bulan belum dikaruniai anak, ternyata tidak begitu banyak perubahan yang terjadi, tidak ada apa-apanya. Lol, no offense to my husband.

Karena, hidup saya baru benar-benar berubah ketika sudah punya anak. I mean, i never changed this much. Mulai dari perilaku, kebiasaan, bahkan perasaan. Waktu baru nikah, ok rasanya seperti new life, new responsibility. Tapi bagi saya kayak, yaudah ngekos bareng orang lain gitu (karena saya dulu emang ngekos bareng suami), i have to share everything, share bed, budget, responsibility, etc. Tapi, saya baru sadar, saya baru paham bagaimana makna Responsibility, setelah punya anak.

Waktu baru nikah, iya sih rasanya cinta banget sama suami, but that's it. Tapi ketika punya anak, rasanya melebihi cinta. I would die for love, tapi saya ga akan mati untuk suami saya sih (lol, no offense again, beb), tapi ketika lihat anak saya, oh God, i really would die for him. Romeo and Julliet are bullsh**, there's no love like that. Saya baru paham bagaimana yang namanya Love.

Saya mengerahkan semua pikiran, tenaga, dan perasaan untuk anak saya. Semua kegembiraan, kekhawatiran, sayang, sebal, semua karena anak saya. Pilihan baju saya, pilihan makanan, pilihan furnitur, pilihan film, bahkan pilihan jam tidur, semua untuk anak. Saya bisa egois terhadap suami saya tapi saya ga bisa (atau gak boleh ya) egois terhadap anak saya.

My life changed, my parents changed, my friends changed, even my privilages changed
Tidak pernah ada perubahan sebesar ini di dalam hidup saya. And that's kinda freaks me out.

Membuat saya berpikir, sebenarnya seluruh hidup kita ini untuk anak, ya gak sih? Meskipun kita belum punya anak.
Dari kecil kita disuruh sekolah agar bisa kerja dan menghidupi anak dengan layak.
Saat menikah, bukannya ditanya kabar malah ditanya anaknya mana alias "udah hamil belom?"
Abis punya anak, ya wis, bahkan eksistensi kita kalah sama eksistensi anakmu yang baru lahir ke dunia. Bahasan tentang anak akan lebih panjang daripada soal kabar kita.

Kadang saya iri sama anak-anak. Apa coba kontribusi mereka di dunia ini, tapi semua orang begitu sayang dan peduli dengan mereka, bahkan saat mereka belum ada di dunia?

SIAPA ITU KONSELOR LAKTASI?

Friday 6 September 2019

 
Pernah dengar siapa itu konselor laktasi? Mungkin untuk

ibu saya, mertua, dan tante-tante saya tidak tahu apa atau siapa yang disebut konselor laktasi. Saya pun, baru tau mengenai profesi ini saat hamil, saat mengikuti kelas laktasi. Ternyata konselor laktasi ini berperan penting sekali bagi keberhasilan ibu menyusui, termasuk saya sendiri.

Konselor laktasi merupakan orang yang mengambil sekolah/pelatihan khusus/kursus mengenai laktasi alias per-ASI-an. Secara internasional, ada gelar resminya yaitu IBCLC atau International Board Certificate Lactation Consultant. Namun sekarang ini banyak juga pelatihan tersertifikasi untuk menjadi konselor laktasi (paling tidak untuk menjadi konselor lokal).

Nah ternyata peran konselor laktasi dimulai dari kehamilan lho!

(buku Anti Stress Menyusui)

Di buku Anti Stress Menyusui, terdapat 7 kontak untuk bertemu dan berkonsultasi dengan konselor laktasi. Dengan tujuh kali kontak ini diharapkan dapat membantu keberhasilan ASI eksklusif.

Jadi, konselor laktasi itu siapa? Apakah sama dengan dokter anak?

Sepengetahuan saya, ada beberapa macam orang yang menjadi konselor laktasi, ada yang orang dengan latar belakang medis dan non-medis. Ini saya jabarkan berdasarkan pengalaman saya ya, mohon dicatat kalau saya ini awam bukan tenaga medis atau profesional, penjelasan ini sebagai gambaran saja bahwa ada beberapa konselor laktasi yang saya tahu dan beberapa pernah saya datangi.

> Dokter Umum (Medis)

Konselor laktasi yang merupakan dokter umum ini menurut saya yang paling sering ada di Indonesia, atau paling tidak yang banyak saya tahu. Dokter ini tidak mengambil spesialis anak atau spesialis lainnya, tapi punya gelar IBCLC atau sertifikasi laktasi lain. Saya sendiri paling sering ke dokter ini, namanya dokter Stella. Beliau punya gelar dokter dan M.Sc. dan juga IBCLC, beliau ada di poli laktasi di suatu RS di Bandung. Selain dokter Stella ada juga dokter seperti dokter Ratih, dokter Regia, dokter Risya, dan beberapa dokter lain dalam timnya (beliau-beliau ini saya tahu dari Instagram dan teman saya, dan mereka juga suka mengedukasi ASI – MPASI melalui instagramnya.

> Dokter Spesialis Anak (Medis)

Nah, ada dokter yang sudah mengambil spesialis anak yang juga merupakan konselor laktasi lho. Dokter ini bergelar IBCLC. Biasanya, dokter ini ngantrinya panjaaang, alias laku berat haha. Soalnya enak, bisa sekalian check up anak dan juga bisa konsultasi laktasi jika ada masalah. Contohnya dokter Frecilia, dokter Asti Praborini, pasti pernah dengar namanya hehe.

Ohiya, ada juga lho yang sudah sub-spesialis anak. Saya pernah mendatangi satu dokter yang sudah cukup umur, dokter spesialis anak sub-spesialis rahasia, (haha maaf soalnya pasti gampang dapet namanya karena dokter subspesialis kan dikit). Saya tidak sebut karena saya masih kurang tau gelar beliau entah IBCLC atau bukan. Tapi beliau memang praktek di poli laktasi rumah sakit lain, nah di RS tempat saya konsultasi beliau hanya praktek dr. SpA saja. Tapi beliau yang pertama kali mengajari saya pumping di saat baby A kehausan gak bisa nyusu, duh kalo diinget-inget sedih hehe.

> Bidan

Saya juga pernah dibantu oleh bidan dari tempat saya lahiran. Beliau sih bukan IBCLC, namun katanya pernah ikut pelatihan laktasi dari WHO. Nah menurut saya bedanya adalah, bidan ini tidak bisa memberikan tindakan medis seperti insisi tongue tie, memberikan resep obat dsb. Plusnya adalah, banyak jasa yang bisa ditawarkan oleh bidan ini, misalnya pijat laktasi, atau breast care alias pijat payudara untuk memperlancar ASI. Selain itu, juga bisa konsultasi biasa seperti tentang cara menyusui yang benar.

> Umum (Non Medis)

Sekarang ini ada beberapa lembaga yang menyediakan pelatihan menjadi konselor laktasi di Indonesia seperti Perinasia. Sehingga orang umum yang tidak berlatar belakang medis juga bisa menjadi konselor laktasi dan membantu para ibu untuk menyusui. Bahkan, karena sekarang zamannya ibu millennial, mencari ilmu menyusui bisa di Instagram aja, hehe contohnya lihat IG mak @olevelove , selebgram ASI (alias Tete-gram) yang juga seorang konselor laktasi yang suka mengedukasi dan berbagi pengalaman di Instagram. Menurut saya konselor laktasi yang umum seperti ini memang tidak bisa melakukan tindakan medis dan meresepkan obat, tapi bisa membantu memperluas edukasi mengenai ASI. Buktinya sekarang banyak sekali ibu-ibu yang lulus ASI eksklusif berbekal baca di Instagram aja. Hebat ya!

Memang belum semua kota memiliki dokter konselor laktasi, tapi ada beberapa orang umum yang mengambil pelatihan konselor laktasi di kota-kota yang belum ada dokter konselor laktasi, sehingga edukasi ASI bisa tersebar di banyak kota (dan juga sosial media!),

Bedanya apa sih dengan dokter anak?

Nah kalau dokter anak itu, pasiennya adalah anak. Kalau masuk ke dokter anak, yang ditanya itu anaknya ada keluhan apa, berapa berat badan anaknya, anaknya ASI atau sufor? Dokter anak gak peduli ibunya e-ping (exclusive pumping), pake nipple shield, atau nyusu langsung. Dokter anak juga gak perlu tau ibunya punya puting mendelep apa engga, yang penting berat badan anaknya sesuai perkembangan.

Kalau konselor laktasi itu, sang ibu adalah pasiennya. Waktu saya daftar ke poli laktasi, kan ditanya tanggal lahir, saya sempat bingung lalu malah menjawab tanggal lahir anak saya hahaha. Terus mbak registrsasinya kayak bingung gitu, kenapa lahirnya 2018. Ternyata pasiennya saya toh, akhirnya saya jawab ulang dengan tahun lahir saya. Di konselor laktasi itu ibu benar-benar “dibedah”, cara menyusuinya, anatomi payudaranya, dan juga bentuk mulut anaknya sehingga tau permasalahan menyusuinya.

Menurut saya, sulit sekali berkonsultasi spesifik tentang menyusui dengan dokter anak yang bukan konselor laktasi. Pernah saya ke dokter anak perempuan, meminta bantuan cara menyusui, dilihat cara menyusuinya, tapi yaa sarannya gitu-gitu aja: ibu jangan tegang; coba lagi; ulang lagi. Apalagi kalo ke dokter laki-laki! Gimana yaa soalnya menyusui itu kan privilage perempuan ya haha. Tapi jujur preferensi dokter anak favoritku itu sebenarnya yang laki-laki, tapi, mana bisaaa nanya soal per-tete-an ke dokter cowok. Ga mungkin banget suruh buka-bukaan lihat cara menyusui hehehe. Jadi wajar sih konselor laktasi itu pasti cewek (sejauh ini belum pernah liat konselor laktasi laki-laki).

Konselor laktasi itu, buat ibu yang mau bisa menyusui anaknya, dengan ASI. Jadi terkait ibu ASI atau sufor, ya di konselor laktasi bahas ASI aja kecuali mau lepas sufor. Gak ada perdebatan ASI vs. sufor karena pasti "pro ASI" dan mengutamakan pemberian ASI.

Apa aja yang dilakukan dengan Konselor Laktasi?

Banyak sekali yang saya dapatkan selama berkonsultasi dengan konselor laktasi. Awalnya saya tau cara memompa ASI yang benar, menggunakan pompa elektrik. Kemudian saya jadi tau bahwa anak saya punya tongue tie, dan dagu yang agak kecil sehingga kesulitan menyusui, saya juga tau kalau saya flat nipple, dan perlu posisi menyusui yang pas bagi saya dan anak agar bisa menyusui dengan baik (saya hanya cocok posisi menyusui football dan cross craddle). Kemudian saya juga diberikan suplemen laktasi untuk menambah produksi ASI (yang tujuannya mempermudah bayi menyusu).

Jujur saya jadi PD banget menyusui setelah bolak-balik ke konselor laktasi. Kalau dihitung sepertinya 4-5 kali, bahkan yang terakhir itu semacam self-reassurance aja kalau saya sudah benar-benar bisa menyusui (karena saya dulu memang se-down itu kepercayaan dirinya perihal menyusui). Saya dulu waktu hamil belum baca mengenai tujuh kontak laktasi. Dulu rencananya saya ingin ke konselor laktasi usia 37 minggu ke atas, tapi ternyata anak saya sudah brojol duluan tepat memasukki 37 minggu, haha. Masalahnya, saya ini ternyata punya flat nipple yang harusnya bisa dideteksi sebelum melahirkan (tapi saya dulu merasa normal-normal saja), ternyata ini yang hampir menggagalkan proses menyusui saya. Jadi, sampai sekarang saya selalu menyarankan kepada teman-teman saya yang sedang hamil untuk mendatangi konselor laktasi sebelum melahirkan.

Anyway, menurut saya yang paling berjasa di perjalanan menyusui saya adalah suami saya, karena banyak alasan (I LOVE YOU BEB). Tapi, konselor laktasi juga SANGAT berjasa, sehingga alhamdulillah saya bisa full ASI sampai sekarang. 15 months and still going!

Saya percaya semua ibu bisa menyusui anaknya ASI, tapi memang tidak semua orang punya privilage untuk mendapatkan bantuan dan ilmu untuk melakukannya. But if you do have, or feel like having the privilage, untuk bisa browsing ilmu, untuk bisa ke poli laktasi, untuk bisa beli pompa ASI, you can do your best!
Breastfeeding is 90% determination, and 10% milk production.                                          - facebook/lactationconnection 


PERJUANGAN MENYUSUI pt.1 - bayi gak bisa menyusu, help!

Tuesday 6 August 2019


Menurut kalian, menyusui itu hal yang alamiah atau bukan? Awalnya saya pikir menyusui itu hal yang alamiah, semua ibu pasti langsung bisa menyusui anaknya, dan anaknya juga pasti mau langsung menyusu dari ibunya. Tapi kenapa ya, banyak yang akhirnya kesulitan bahkan gagal menyusui?
Saya menyadari, ternyata menyusui mungkin memang hal yang didesain oleh alam, tapi ternyata perlu pengetahuan yang banyaaak sekali untuk bisa memahami cara kerjanya! 

Saya ingin bercerita mengenai pengalaman saya yang melalui perjuangan untuk bisa full memberikan ASI dan menyusu melalui payudara. Ini merupakan target saya pribadi, untuk bisa menyusui langsung, karena alasan-alasan saya pribadi mulai dari kesehatan, waktu, sampai lingkungan. Saya tidak menjudge orang lain yang menggunakan susu formula, saya hanya ingin menjangkau teman-teman sesama ibu yang juga berniat dan berjuang ASI, agar tidak mengalami kesalahan seperti yang saya alami.

Emang gimana kesalahannya? Yuk siap-siap baca blog panjang hehe. Ini cerita saya dimulai dari momen melahirkan.

Hari Pertama

IMD
Pertama kali saya bertemu dengan babyA adalah ketika IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Sekejap setelah bayi keluar dari perut saya melalui persalinan normal, ia dicek dan dibersihkan sebentar, lalu baby A ditaruh di atas dada untuk mencari puting. Setelah satu jam lamanya, babyA masih meraba-raba di atas dada saya dan belum berhasil mencapai puting saya. Lucu, dia hanya diam, bengong, sambil terkantuk-kantuk, pipinya yang mungil terlipat karena menghadap sebelah wajah, hehe.

Sebenarnya saya tidak tahu tolak ukur IMD berhasil atau tidak, tapi sudah satu jam lewat (sebenarnya saya tidak tahu pasti dan waktu itu entah kenapa lupa bertanya), babyA belum juga bisa mencapai puting. Tapi, suster bilang disudahi dulu biar saya gak capek dan bayi dihangatkan di inkubator. (Later that i know, sebenernya hal ini gak perlu karena skin to skin adalah proses penghangatan yang paling baik untuk bayi baru lahir, apalagi kalau bayi belum bisa menyusu).

Setelah itu, kami berdua menuju kamar perawatan bersama.

Penuh tamu
Saya berkesempatan untuk rooming in alias sekamar dengan babyA. Waktu itu, karena tempat lahiran saya yang cukup dekat dengan keluarga, tiba-tiba saya disambut oleh sekeluarga besar di Bandung.

Jujur sebenarnya saya memiliki rencana untuk merahasiakan kelahiran bayi, bahkan kepada orangtua kami (karena orangtua kami keduanya di Jakarta), tapi kebetulan karena hari itu hari libur natal, mertua ada di rumah kami dan keluarga juga langsung bisa menjenguk karena libur kerja. 

(Baca juga: My Birth Story pt. 1).

Mau bilang tidak nyaman sebenarnya saya segan, karena jujur saat itu badan masih gak karuan pasca melahirkan. Rasanya capeeek banget, ingin tidur, tp kalo tidur nanti babyA dipegang2 (posesif haha). Suami saya apalagi, capek banget, nemenin saya menghadapi kontraksi semaleman dan juga mengurus admin, dll. Setelah tamu pulang, suami saya benar-benar langsung tidur nyenyak meski cuma di sofa.

Jujur yang saya inginkan saat itu sebenarnya adalah telanjang dada dan bisa dengan leluasa mencoba menyusu si baby dengan skin to skin. Asli deh, pertama kali menyusui itu KIKUK BANGET, bener-bener gak tau posisi tangan harus ditaro di mana, takut anak jatoh, takut anak kepelintir, belum lagi ditambah, malu susunya diliatin O,O. Udahlah malu, ditambah kikuk, malu kalo diliatin dan dianggap "kok ga bisa-bisa nyusu?", "kok megangnya kaku banget?" 

Karena kedatangan banyak tamu itu, entah kenapa saya jadi malas dan takut untuk menyusui (padahal baby belum menyusu sama sekali lho sebelum lahir), saya pikir karena dia sedang tidur jadi yasudah. Ternyata, hal ini tidak boleh, tetap harus mencoba disusui meski ASI belum lancar. Iya, dulu saya blank banget soal itu.

Saya jadi berjanji sama diri sendiri, kalau saya punya teman baru lahiran, saya bakal jenguk kalau dia sudah di rumah, sudah belajar menyusu, atau bahkan minimal seminggu kemudian saja. Karena ternyata bertamu bisa menyulitkan proses menyusui.

Hari Kedua 

Mencoba Memompa ASI
Masih berusaha menyusi dan berusaha mengambil ASI dengan pompa, saat itu saya pakai pompa manual dan saya tidak tahu cara kerjanya. Bukannya googling atau apa, tapi saya makin pencet dengan keras alhasil puting saya sakit, dan ASI gak keluar maksimal. Lalu karena saya merasa MALAS memompa, saya terus berusaha untuk DBF saja.

Bodohnya, saya dulu menelan mentah-mentah begitu saja pernyataan kalau "Bayi baru lahir punya cadangan makanan selama 3 hari". Di tambah katanya banyak yang ASInya baru keluar hari ke 3 atau 4. Saya pikir gak apa-apa kalau gak nyusu gitu selama 3 hari. Jadi, bodohnya saya nyantai gitu, mumpung baby juga banyak tidur, saya ingin tidur, beres-beres, main HP. Baby tidur lama pun saya tidak berusaha bangunkan untuk menyusui, saya pikir dulu kalau nangis baru menyusui. 

Baby Hanya Menjilat Puting        
Saat mencoba menyusui pun babyA hanya menjilat-jilat puting. Entah kenapa dia sulit sekali melekat. Semua orang bilang "gak apa-apa, anak sama ibu sama-sama belajar". Tapi yaudah gitu, gak benar-benar solutif, harus apa? 

Breastcare
Sebelum pulang, saya meminta jasa konselor laktasi, katanya di klinik itu ada. Beliau bidan tapi pernah mengambil sertifikasi konselor laktasi. Setau saya juga bukan IBCLC (baca juga: siapa itu konselor laktasi?). Begitu datang, saya dilihat saat menyusui, tapi baby  tetap tidak bisa melekat juga.

Puting saya sangat flat, dan saya diminta untuk mencubit puting saya sambil dimasukkan ke mulut bayi. Tetapi tetap saja sulit sekali, begitu masuk keluar lagi, begitu terus. 
(Nantinya saya tau, ternyata babyA punya tongue tie dan konselor laktasi tersebut belum bisa mendeteksinya.).

Akhirnya saya disarankan untuk membeli nipple puller untuk mengeluarkan puting, atau memakai penyambung puting (nipple shield). 

Selain itu, beliau memberikan pijat payudara atau breast care, dan pijat oksitosin untuk memperlancar ASI. Breastcare itu jangan ditanya ya, sakiiit banget. Tapi kalau sakit alhamdulillah ya tandanya ASInya ada, bahkan ketika dipencet, ASI saya pun ada keluar sedikit bening gitu kolostrumnya. 


Pulang Ke Rumah
Di hari kedua ini, alhadmulillah sudah langsung bisa pulang ke rumah. Memang kalau persalinan normal itu, bisa lebih cepat pulang, kecuali jika ada kondisi tertentu bagi bayi dan ibu. Namun, ini membuat saya sangat panik. Hello? Saya ibu baru! Bayi saya belum bisa menyusu, gimana nanti kalau di rumah? Terus ini harus apa?
Serius, jadi ibu baru itu rasanya blank banget. Pulang-pulang bawa manusia baru, yang juga gak tau apa-apa. 

Hari Ketiga
Di rumah sangat chaos. BabyA benar-benar tidak mau tidur jika ditaruh. Hampir 24 jam saya menggendong babyA. Sepertinya dia juga merasa haus karena mungkin ASI saya tidak lancar, dan sulit sekali ketika memulai menyusui.

Menyusui yang Sakit Sekali
Di hari ke ketiga itu, babyA akhirnya bisa menyusu/melekat ke payudara (anggap saja begitu), tapi, rasanya astaghfirullah, kayak digigit :(. Nyelekit, kayak ditusuk-tusuk, dibaret-baret. Gak nyangka padahal bayi kan ga punya gigi tapi kok sakit banget. 

Setiap mau menyusui itu pasti ada pergelutan, 10 menit sendiri nangis-nangis minta nyusu dan mencoba latch on, gagal coba lagi gagal coba lagi, sampai saya keringetan, meski akhirnya melekat.

Yang orang-orang bilang saat itu, "itu tete kamu gede banget kayaknya buat babyA" (later that i know, i have flat nipples). Jadi kayak bagian ujungnya bener2 round gitu deh, dan emang keliatan susah banget, padahal udah dipencet-pencet di arah-arahin ke mulut, tetep loh, susah, dan sekalinya udah latch, Subhanallah sakit :(

Menyusu yang tidak optimal
Nah masalahnya, babyA tuh kok udah habis gelut minta nenen, tapi kok baru sebentar udah tidur sambil ngempeng. Ini nyusu apa engga? Saat itu saya mikirnya sudah nyusu, tapi kok pas ditidurin ke kasur, nangis lagi ga berhenti, akhirnya ngulang lagi, pergelutan nangis-latch yang sakit lagi. 

Nightmare. Asli, itu yang saya rasakan. Baby hampir ga bisa tidur seharian, nangis-nangis terus tiap malam. Saya pun ga bisa tidur. Ini kenapa? ini kenapa? Akhirnya karena suami, mertua dan saya sama-sama khawatir, yasudah, beli susu formula aja deh. Kayaknya ASI ku kurang.

Memberi Susu Formula
Akhirnya suami langsung ke apotek tengah malem dan beli susu formula. Jujur memberi susu formula itu berat di hati dan di tangan saya. Rasanya kayak apa ya, kayak kasih makanan yang bukan seharusnya, saya justru takut sekali babyA sakit dengan memberikan susu formula, karena belum berkonsultasi dengan dokter. (nb: seharusnya berkonsultasi dulu ya!)

Mohon maaf ya, ini pandangan saya dulu, sekarang pandangan saya terhadap susu formula sudah beda. Tapi benar-benar ketika membuatkan susu formula itu kayak gemeter, dan risih, dan nangis. Tapi ada baiknya juga sih, saya jadi terdorong untuk benar-benar mencari bantuan untuk menyusui. 

Meskipun sudah diberi susu formula, babyA tetap masih menangis meskipun sempat sudah diam sebentar setelah minum. Saya sendiri kan berusaha untuk menyusui dulu sebelum memberi susu formula, tapi dia kayak udah keburu capek nangis karena susah menyusui jadi tidak optimal. Harusnya saya dulu tidak egois untuk menyusui langsung :(

Hari Keempat

Saya dan mama mertua menyadari, babyA kok lebih kuning kulitnya, sinar matanya juga lesu dan kuning. Saya begitu panik, sampai gaktau harus gimana, akhirnya mama mertua yang cari-cari dokter anak yang buka (maklum ini pada cuti karena liburan natal tahun baru huhu). Akhirnya saya ke dokter mana saja yang bisa segera menangani, meskipun bukan dokter yang favorit.

Tanda babyA dehidrasi:
1. Banyak tidur, tapi rewel juga
2. Ada bercak orange di popoknya. 
3. Bibirnya kering
4. Kelihatan lebih kurus dan ringan dari sejak lahir (setiap hari difoto soalnya)
5. Demam (kalau gak salah dulu 37,5 lebih, dan bodohnya dulu saya menganggap itu normal)

Saya tidak perhatikan frekuensi BAK nya karena dia pakai pospak. Padahal seharusnya melihat frekuensi BAK itu penting sekali untuk melihat kecukupan ASI. BAB nya juga kalau gak salah belum berubah kuning, tandanya minumnya belum cukup.

Pertama Kali Ke Dokter Anak

Di ruang tunggu rumah sakit, babyA merengek-rengek. Dia hanya mau diam kalau digendong mertua saya, mungkin karena saya punya susu tapi saya gak bisa nyusuin! Di RS saya juga sambil memompa dengan pompa manual, tetapi hanya dapat sedikit sekali, hanya seperti basah.

Di ruang dokter, saya langsung to the point, saya gak bisa nyusuin. "Sudah dipompa?" tanya dokter. Tidak keluar, hanya sedikit. Dokternya langsung bilang "jangan pakai pompa manual deh, coba beli pompa elektrik, nanti ibu saya ajari memompa pakai pompa di sini".

Dokter memeriksa babyA. Katanya babyA sudah terlilhat dehidrasi, dan sudah harus segera minum susu yang banyak. Penurunan berat badannya pun sudah jauh, dari 2,9 kg menjadi 2,5 kg. Karena saya bilang tidak bisa menyusui, kemudian Dokter memeriksa payudara saya. Kebetulan sekali beliau bilang ternyata beliau konselor laktasi juga.

"Ibu, ini puting anda susah untuk bayi menyusui (flat nipple), makanya dia merengek-rengek terus. ASI anda bagus, lihat ini pembuluh darahnya banyak kelihatan, tandanya ASInya ada, tapi bayi anda terlalu capek buat nyusuinnya karena putingnya susah, belum lagi ditambah nangis, sehingga kalorinya terbakar"

Akhirnya babyA harus cek darah dan ternyata Billirubin-nya tinggi yaitu 16. Harus dirawat dan disinar. Saya dan suami masih percaya gak percaya gitu kalau harus dirawat. Masih nanya "eh, jadi gimana dok, hari ini rawatnya?", "yaiya hari ini, coba bapak cek ada ketersediaan kamar atau tidak, nanti tunggu dipanggil lagi untuk belajar pumping".

Setelah semua urusan administrasi selesai, saya dipanggil lagi untuk belajar pumping.Pompa ASI yang ada di ruangan dokter ini gede buaanget. Literally bisa disebut "alat". Dan saya ingat banget merknya Medela. Kalo saya boleh googling, kayaknya ini deh alatnya, mungkin bisa salah.


Saya diajari cara memompa yang baik, tapi saya akan bahas di lain waktu ya. Intinya saat itu ASI saya ada kok, sebenarnya cukup, tapi dengan kondisi baby A yang dehidrasi, ASI saya kurang dari kebutuhannya karena asupannya harus lebih banyak. Sehingga saat itu harus ditambah susu formula.

Sebelum masuk ke ruang dokter lagi, saya sempat menangis sampai sembab, kata dokter "sudah tidak apa-apa bu, yang penting bayi sehat, nanti ibu tetap pompa ya bu untuk diberikan ke bayinya, tapi kalau kurang, kita akan tambah dengan susu formula ya bu."

Mungkin dokternya tau, saya ibu-ibu muda yang baru kenal sama yang namanya "ASI eksklusif", beliau menambahkan. "Tidak apa-apa bu, pakai susu formula bukan akhir dunia, susu formula itu life saver. Sekarang ibu rajin pompa dan makan, ibu sudah makan?" "belum dok". Saking riweuhnya sampe belum makan. 

IKHLAS
Sepulang ke rumah, saya dan suami hanya bisa berpelukan sambil menangis. Gak berhenti-berhentinya berdoa supaya babyA bisa pulang. 
Tengah malam saya terbangun, saya mimpi buruk. Jujur saya sampai masih ingat saya terbangun karena mimpi apa, saya mimpi emas batang saya dicuri semua oleh maling (kok bisa pas banget sih, baru-baru ini saya juga membereskan barang berharga ke tempat baru).

Saya langsung bangun, astaghfirullah, pertanda apa nih? babyA mau diambil? Saya auto-nangis.
Saat saya bangun itu ternyata tengah malam dan saya ternyata harus pumping lagi. 

Sampai sekarang itu saya bikin-bikin alasan aja, mungkin emas itu mungkin artinya GOLDEN MILK alias ASI, golden milknya harus segera diambil (pompa) kalo engga nanti diambil orang (?). SUMPAH GUYS itu ngasal banget tapi saya bikin gitu buat memotivasi aja buat pumping dan gak overthinking memikirkan hal buruk. Karena harus setor ke rumah sakit besok pagi biar baby A gak kebanyakan minum susu formula dan gak lupa sama ASI.

Kalo ada dari pembaca yang ahli mimpi, tolong jangan kasihtau apa-apa ke saya arti mimpi saya ya.

Saya harus melewati malam tahun baru tanpa babyA. Rasanya sedih sekali, jujur itu adalah momen terendah dalam hidup saya. Saat itu juga mungkin saya baby blues, saya agak disorientasi waktu, gak kenal lapar haus (meski tetap makan karena disuruh), my mind was clouding...

To be continued: PERJUANGAN MENYUSUI pt.2 - menyusui tidak semudah itu, Fergusso!

PREGNANCY STORY .pt2 – persiapan jadi ibu baru

Saturday 27 July 2019



Trimester ke dua

Second trimester is the best pregnancy phase! Siapa setuju? Di masa ini perut lagi gak besar-besar amat, mual sudah hilang dan entah kenapa energi banyak banget. Saat ini mulai rajin yoga, jalan pagi, dan beberes, meski ya ga rajin-rajin amat deng hahaha.

Badan saya bikin kagum, bentuknya lucu. Payudara juga mulai membesar (kesenengan yang punya dada kecil haha). Terus juga no stretch mark (eits jangan seneng dulu). Andai saya gak pakai hijab mungkin saya foto-foto maternity cuma pakai lingerie.

Yang paling berkesan di trimester ini adalah, saya suka belajar! Mungkin, karena memang kebutuhan kali ya, di Trimester ini saya rajin ikut kelas-kelas kehamilan dan membaca buku-buku tentang kehamilan dan parenting. Excited banget karena semua hal yang dipelajari bener-bener baru buat saya.

Bahkan gak hanya itu, saya suka mempelajari hal baru seperti tentang pola makan sehat, berkebun, dan tentang lingkungan. Entah kenapa bawaan bayinya seperti ini atau saya. Nak, kamu kalo gede mau jadi duta lingkungan gitu ya?

Di trimester ini saya mulai baca informasi mengenai hidup Zero Waste dan saya jadi mulai tertarik lagi dan bahkan (agak) serius ke dalam isu lingkungan. Saya mulai sharing-sharing soal lingkungan di Instagram, pilah sampah, kurangi sampah, meski ilmunya masih minim dan jauh dari perfect, tapi saya bersemangat sekali melakukan ini.

Selain itu entah kenapa saya juga jadi tertarik mempelajari dunia finansial. (Syaki yang dulu pasti gak percaya wkw). Saya ikut beberapa kelas dan komunitas belajar finansial, investasi dan kelas saham. Bahkan sempet trial konsultasi ke konsultan, tapi gak diterusin karena dananya gak ada haha, tapi jadi kebayang dikit masalah finansialnya apa. Meski sampai sekarang juga masih newbie terus, dan belom jadi miliyarder haha, tapi paling engga saya dan suami jadi punya gambaran soal keuangan apalagi untuk mempersiapkan kelahiran baby.

Ohya, bukan sok alim, tapi di kehamilan ini juga diisi dengan ceramah-ceramah ustad Zakir Naik yang entah kenapa saya jadi suka sekali sejak kehamilan ini. Bahkan kami akhirnya memutuskan menggunakan nama Zakir untuk nama tengah anak kami hehe. Nama adalah doa ya, ngga… manatau kan jadi pintar kayak ustad Zakir Naik hehe, aamiin.

Banyak ya pengennya? Entahlah, semua ini mungkin karena bawaan kecemasan ingin menyiapkan “kehidupan” untuk yang sebentar lagi akan hidup bareng kita. Mungkin saya merasa hidup saya masih jauh dari ideal, baik bagi diri saya maupun bagi society (ciah). Saya merasa butuh banyak ilmu, yang nantinya juga saya turunkan atau secara langsung pasti akan diikuti oleh anak saya.

Saya merasa kayak anak saya bakal protes, “kenapa ibun membuang banyak plastik?, kenapa ibun ga punya tabungan pendidikan?, kenapa ibun gak ngajarin aku pemahaman Al-Quran?” dan berbagai kecemasan lain yang menurut saya terobati dengan saya yang baca banyak referensi.

Oh dear my baby, I’m not a perfect parent but i’m doing my best ok?

(anyway, saya memutuskan untuk dipanggil Ibun, hehe)


Dari segala kecemasan itu, but i still enjoyed it! I enjoyed all the things i do in second trimester!

Trimester ke tiga

Saya semakin besar (ga cuma perutnya). Nafsu makan sangat banyak, bahkan untuk hal-hal berbau junkfood khususnya gula dan coklat. Ugh, lagi-lagi jangan ditiru. Yang tadinya saya bangga kenaikan berat badannya gak terlalu banyak, tapi ini jadi udah kebanyakan hahaha. Total saya naik 12 kilo, terakhir menimbang sebelum melahirkan itu 62 kilo. Karena makannya berantakan dan agak junk, yang tadinya saya gak ada stretchmark, mulai deh ada sedikit di pinggang, huhu sedih deh, soalnya minumnya juga malah berkurang. Kemudian keputihan juga tambah parah, sehingga saya 1-2 kali harus “dibersihkan” saat kontrol ke Obgyn dan diberi obat yang dimasukkan ke dalam vagina.

Badan? Wah pegel, haha. Pinggang encok, udah ga bisa cuci piring yang sedikit bungkuk gitu, duduk paling enak di Birthing Ball. Alhamdulillah kaki gak sampe yang bengkak-bengkak gitu, cuma sering kesemutan kalo duduk. Sayangnya saya masih saja insomnia. Dari trimester awal juga saya seringkali insomnia. Terus yang tadinya sombong dalam hati “prenatal yoga kok gini sih cemen banget, gak keringetan”, skrg mingkem aja, soalnya jadi pegel dan engap. Hahaha.

Di sisi lain, trimester tiga ini saya malah semangat sekali sama yang namanya beres-beres. Ternyata itu adalah Nesting Instict seorang ibu, di mana ibu hamil merasakan keinginan kuat untuk membenahi kamar/rumah yang nantinya akan ditinggali sang bayi. Gak cuma beres-beres kamar, saya juga beberes seisi rumah. Padahal saya masih tinggal di rumah mertua saya, which is yang banyak banget barangnya karena ditinggal mertua Jakarta. Ditambah saya baru baca juga tentang decluttering dan buku Marie Kondo itu, langsung deh bablas pgn declutter seisi rumah (yang alhamdulillah selesai cepet: ngebuang 6 karung sampah, kirim 1 kardus sampah elektronik, donasi 2 kardus besar buku dan 2 kardus besar barang-barang (tentunya sudah dengan izin mertua karena isinya juga barang2 anaknya haha), bahkan kayak saya nemuin file-file penting yang selama ini dicari oleh keluarga suami (hahaha ada faedahnya juga ya jadi ribet).

Nah, akhirnya..

Alhamdulillah saya melahirkan di usia kehamilan 37 minggu. (Cerita melahirkan lebih lengkap akan diceritakan di postingan lain ya.) MasyaAllah, 9 bulan pas saya jalani, ternyata, saya bisa. Saya tidak menyangka saya kuat. Rasanya juga cepat sekali, tiba-tiba bertambah satu anggota keluarga di rumah. Kalo dibilang masa kehamilan itu ngangenin, ada iya ada engganya sih. Kangen karena bentuk tubuh dan perhatian yang didapat dari orang lain, tapi gak kangen sama mual dan pegel-pegel sih. 😛

Untuk ibu-ibu yang sedang hamil, semangat ya! Enjoy your pregnancy 🙂

PREGNANCY STORY .pt1 – beneran nih hamil?

Friday 26 July 2019


Saya menikah di tahun 2017. Kalau ditanya apakah ingin langsung punya anak atau tidak, saya dulu jawabnya “se-dikasih-Nya aja”. Deep down mungkin sebenarnya belum siap langsung punya anak, dan mungkin Allah menjawab isi hati saya sehingga belum dikasih hamil sampai 8 bulan setelahnya.

Saya dan suami tidak masalah sebenarnya, karena kami pun masih menikmati belajar beradaptasi hidup berdua. Tidak ingin buru-buru juga. Tapi memang yang namanya orangtua suka cemas sehingga seringkali saya disuruh makan/minum tertentu yang katanya bikin “subur”. Sebenarnya agak tertohok gitu sih sebagai wanita kalau dianggap tidak subur. Ya.. saya jg menyadari mungkin saya belum hamil karena pola makan saya yang amburadul semenjak menikah. Setelah menikah saya naik 7 kilogram dalam 3 bulan hahaha. Namun di samping itu, saya berusaha sih memperbaiki pola makan dan kesehatan (saya akan bahas di postingan lain tentang program hamil).

Gagal Surprise Kehamilan

Saya selalu berencana ketika sudah tes hamil saya akan memberikan surprise ke Akang. Seperti orang-orang di youtube itu loh, saya suka melihat video-video reaksi suami-suami yang dikasih surprise testpack. Ingin tau aja gimana sih reaksi si Akang, soalnya kadang kalo saya excited dia malah lempeng wkwk.

Karena sejak awal menikah sudah sering tespack namun hasilnya selalu negatif, makin lama saya sudah tidak pernah cek-cek lagi pakai testpack. Males, tespack mahal, bok! haha intinya kalau mens hadir, ya ngga hamil gitu, jadi tunggu aja tiap bulan. Jadwal mens di aplikasi pun sudah tidak pernah diupdate. Pokoknya udah lah pergaulan bebas aja gitu 😛

Suatu hari suami saya bilang:

Akang : “Say, kamu kok belum mens?

Syaki : “Eh masa? Bukannya baru selesai ya..?”

*halu. Padahal udah terlambat 1 minggu setelah ngecek periods apps.

Syaki : “Oh iya udah telat.”

Akang : “Cek sana.”

Saya deg-degan, karena saya gak pernah telat mens, apalagi sampai seminggu. Selalu tepat waktu. Sejak menikah, suami agak hafal, atau punya feeling terhadap jadwal mens saya (hebat ya, saya aja engga hafal).

And then, sudah tau lah ya hasilnya gimana. Saat itu saya langsung nyeplos aja ke suami kalo hamil. Kami berdua tersenyum, terharu, dan pelukan. Shock sih, ngerasa “eh kok beneran hamil?” (lah menurut ngana? wkwk). Selain itu, yang saya pikirin adalah “kenapa yaaa keluar kamar mandi gak boong aja gitu biar bisa surprise” soalnya dua hari lagi Akang ulang tahun. Padahal bisa jadi kado tambahan selain cukuran jenggot elektrik yang Akang request jadi kado. Yah gapapa lah kami tetap bersyukur banget akhirnya hamil, alhamdulillaah.

Ke Dokter Sp. Kandungan

Dua kali saya testpack positif, kami memutuskan langsung ke Obgyn. Saya clueless banget obgyn yang bagus siapa, apalagi saya baru pindah ke Bandung. Sebenarnya, sebelum ini kami pernah ke Obgyn untuk cek kandungan/fertility, namun dokternya tidak ada yang bagus. Akhirnya kami agak asal pilih saja yang antriannya sedikit dan cara bicaranya masih bisa ditoleransi hehe.

Di ruang dokter, begitu dipersilahkan untuk berkonsultasi dan ditanya “sudah pernah testpack?”, saya langsung tunjukkan testpack yang udah diplastikin (which i don’t know if it’s necessary lol). Setelah itu diperiksa, ini bukan pertama kali saya di USG. Pertama kalinya saat saya punya kista rahim waktu kuliah. Tapi ini pertama kali USG sejak kehamilan, terharu banget sampai keluar air mata. Kayak, masih ga nyangka kami bakal jadi orangtua. Baby nya masih kayak telor, waktu itu masuk 8 minggu kehamilan. HPL (Hari Perkiraan Lahir-nya) 15 Januari 2019, apakah dia akan jadi anak Januari seperti ibunya?

(Foto USG)

Nah selama konsultasi ini saya nanya buanyak banget pertanyaan yang udah saya siapkan di notes HP (gamau rugi). Mulai dari boleh/tidak makanan apa, boleh berhubungan/tidak, olahraga, dll (lupa). Pada intinya semua boleh, sampai dokter bilang tidak boleh. Hahaha. Paling utama soal makan sih, makan apa saja boleh asal matang! Kemudian saya diresepkan multivitamin folamil saja waktu itu. Setelah USG ini kami baru mengabari kehamilan ke orangtua-orangtua kami.

Oh iya selain itu saya meminta untuk cek Tokso, karena seumur hidup saya main sama kucing, hehe. Bahkan saat hamil ini saya baru mengadopsi dua kucing kecil. Sebenarnya check up baru akan dilakukan trimester 2, tapi saya meminta untuk langsung cek darah juga. Hasilnya alhamdulillah bagus semua, dan tidak ada Tokso. Tes Tokso ini sebenarnya ada juga di rangkaian tes pra nikah, tapi aku sama sekali gak tes, hanya tes HIV kalau gak salah yang merupakan wajib dan gratis dari KUA.

Trimester Pertama

Besoknya, benar2 keesokan hari setelah ke Obgyn, saya langsung eneg dan mual-mual dong! hahaha saya heran. Padahal sebelum tau kalau hamil saya tidak merasakan apa-apa sama sekali. Apa ini sugesti ya? Tapi kok jadi berlangsung 3 bulan? haha.

Trimester pertama, subhanallah, rasanya hampir traumatis banget. Meski saya bukan tipe yang muntah-muntah sampai gak bisa makan, tapi saya mual, gak enak badan, dan lain-lain. Berat badan saya bahkan tidak naik selama 3 bulan pertama. Kebetulan saya juga melalui bulan Ramadhan dan berakhir bolong banyak sekali puasa karena mual, huhu.

But now i know that this is pregnancy! Di trimester ini sebenarnya saya masih percaya gak percaya kalau ada “sesuatu” di perut. Semua orang bilang kalau bayi harus diajak berbicara dan stimulasi sejak awal di kandungan, tapi, i still haven’t found the connection. I don’t know what to say, and why? Can she hear us? Sejujurnya di trimester pertama ini saya cukup abai kalau saya hamil. Soalnya perut belum berasa apa2, janin masih diam ditempat. Saya belum merasakan perubahan apapun kecuali mual. Perubahan yang saya rasakan cuma dari orang2 sekitar, yang mulai care, dan protektif sama saya (muahahaha).

Salahnya, saya kurang menjaga pola hidup sehat. Saya masih takut-takut olahraga, jarang keluar rumah juga (padahal vitamin D matahari bisa mengurangi mual). Males juga sih sebenarnya karena kalau pagi eneg.

Kalau makan, apa saja dimakan sih sebenarnya, kecuali bubur ayam yang entah kenapa saya jadi gak suka. Padahal bubur ayam mang soleh yang lewat depan rumah mertua enak banget.

Porsi makannya, biasa aja juga, gak yang terus nambah-nambah makanan bergizi, duh kalo diinget-inget nyesel hehe. Sesekali minum susu hamil, saya cuma suka susu A*mum. Saya sudah minum ini sejak nikah (sebelum hamil) tapi memang ga rutin, dan emang udah menyeleksi susu hamil mana yang saya suka hehe. Saya minum susu ini kalau merasa makannya lagi kurang bergizi aja di hari itu (suka suka deh caranya haha).

(to be continued)

PERNAH STOP ZERO WASTE? - disaat kondisi kurang mendukung

Friday 12 April 2019


Saya menjalani hidup lebih minim sampah mulai di pertengahan tahun 2018 (baca juga: Pengalaman Satu Minggu Zero Waste pt. 1)
Sejak pertama kali memulai, saya sudah 4 bulan lebih melakukan pemilahan sampah dan proses mengurangi sampah. But everything change when the fire nation attacked. hahaha
Eh, maksudnya, ada hal yang membuat saya tidak bisa melanjutkan sementara proses tersebut dan terpaksa harus kembali tidak memilah sampah. Yaitu kondisi ketika saya baru saja melahirkan. Ya, proses melahirkan saya itu mendadak, lebih cepat 3 minggu dari hari perkiraan lahir. Saat itu keluarga suami sedang ke rumah (memang itu rumah mertua saya), karena saat itu sedang libur natal dan tahun baru. Pas sekali anak saya lahir saat hari natal, dan mereka memutuskan untuk stay lebih lama.

(Baca juga: My Birth Story pt. 1)

Biasanya memang ketika ada kunjungan, saya yang lebih responsible untuk memilah sampah, karena sulit juga untuk memberikan informasi tentang pemilahan sampah di rumah, toh mereka juga hanya weekend. Nah tapi, sekarang karena mertua tinggal di rumah, otomatis "komando" urusan rumah pindah lagi ke mertua saya. Ya pasti paham lah, gak bisa ada 2 wanita dewasa di rumah yang sama-sama jadi pemimpin hehe. Jadi deh tuh, kardus-kardus untuk memilah sampah disingkirkan (segera dikirim ke bank sampah), dan tidak ada lagi pemilahan sampah. Paling hanya  yang sampah organik dan non organik. Sampah non organiknya juga tidak dicuci jadi bercampur begitu saja.

Di tambah, kondisi saya saat itu sedang lumayan down karena baby blues juga. Saya dulu stres karena baby sempat dirawat di RS karena kuning, dan juga proses menyusui yang lumayan struggle. Belum lagi saya beradaptasi dengan tipe baby yang spirited, alias difficult temperament, jadi saya ke mana-mana harus babywearing dan jam tidur minim sekali. Memang sih, zero waste itu bukan berarti tetap memproduksi sampah dan hanya memilah sampah. Tetapi bagi saya, memilah sampah itu hal yang cukup signifikan bagi saya untuk bisa hidup minim sampah yang terbuang ke TPA. Karena memang untuk beberapa produk saya masih harus beli bungkusan. Tapi kalau dibandingkan dengan gaya hidup saya yang dulu, jelas sudah jauh sekali progress saya majunya.

Menurut saya jangan bandingkan progress kita dengan orang lain, tapi bandingkan dengan diri kita yang dulu.
Postingan ini bukan bermaksud untuk mencari justifikasi "maklumi saya". No, karena saya juga tetap melakukan usaha lain untuk meminimalisir sampah. Misalnya membeli makanan dengan rantang, memakai clodi, menggunakan lap sebagai pengganti tisu, dll. 

But hey, empat bulan + dua bulan saya tinggal bersama mertua dan orangtua saya di Depok, setelah itu kami akhirnya pindah ke kontrakan sendiri, yay! Akhirnya, saya bisa mulai memilah sampah lagi dan bisa melakukan zero waste versi kami lagi.

Menurut saya, memang proses Zero Waste ini susah susah gampang. Terkadang kita memang merasa melakukannya sendirian, dan menurut saya tidak perlu terlarut-larut menyalahkan diri sendiri, asal kita tetap pada integritas kita, dan berusaha semampunya untuk melakukan apa yang kita anggap benar dan impactful.

We don't need a handful of people doing zero waste perfectly. We need millions of people doing it imperfectly. - Anne Marie Bonneau

Semangat melanjutkan ber-Zero Waste!

MY BIRTH STORY pt. 2 - pembukaan stuck, terus gimana?

Saturday 2 February 2019

Selasa, 25 Desember 2018

Hari ini hari natal umat kristiani. Sebagai muslim, hari ini bagaikan hari libur biasa saja. Saya masih terkapar di kamar klinik menunggu pembukaan. Orangtua saya sedang mudik akhir tahun ke Jogja, sama seperti mertua saya yg sedang mudik ke Bandung di rumahnya yang sedang saya tempati bersama suami. 

Jam 1 a.m
Saya tanya ke bidan apakah saya sudah cukup bulan untuk melahirkan atau belum? Apakah saya boleh usahakan untuk bergerak terus sehingga cepat pembukaan atau harus dilama-lamain? Saya juga tidak tahu mengapa saya bertanya begini. Awalnya perhitungan bidan berdasarkan HPHT saya masih 3 hari lagi untuk dianggap cukup bulan. Tapi kemudian bidan datang dan menurut dokter Obgyn, sudah cukup bulan dan mau dilahirkan oleh beliau. Jadi saya tidak apa-apa bergerak aktif, namun tetap harus simpan energi.

Sebelum itu, saya tau saya harus makan. Saya berharap, saya bisa melahirkan pagi hari, jadi saya ingin punya tenaga jika saya tidak sempat sarapan. Suami saya pesen KFC haha. Apa lagi yang buka jam 1 pagi? Saya berusaha makan lalu saya mencoba menerapkan hypnosis diri untuk tidur. Alhamdulillahnya, saya bisa tidur sebentar dan tidak merasakan kontraksi-kontraksi yang datang semakin kencang. Jam 4 saya terbangun karena kontraksi, dan saya sudah tidak bisa tidur kembali. Suami saya tertidur pulas. Saya ingat saya melemparkan selimut karena saya haus dan perut saya semakin kencang, haha maaf ya pak Hari.

Jam 6 a.m

Jadwalnya cek VT lagi dan ternyata suah pembukaan 5. Entah "sudah" atau "masih", tapi saya cukup senang karena sudah maju lagi. Lima pembukaan lagi. Saya tidur sekitar 3 jam semalam, di pagi ini saya mandi dan langsung olahraga gym ball. Bersyukurnya, di Klinik Cikutra ini disediakan gym ball, sebelum saya survey, saya sudah menyiapkan gymball di tas persalinan saya, tapi karena tahu akan disediakan, jadi tidak saya bawa. 

Jam 10 a.m

Pembukaan 7, Ya Allah ternyata prosesnya bisa begitu lama sekali ya untuk ketemu BabyA. Badan sudah berkeringat. Saya begitu bersemangat untuk terus bergerak, mondar mandir, gym ball, rebozo, labor dance, dll demi mempercepat pembukaan. Untungnya baru aja belajar itu semua di kelas child birth haha, baru kelas langsung praktek.

Asli, saya mencoba untuk rebahan dan istirahat, tapi ketika saya rebahan, rasa sakit yang dirasakan justru makin sangat terasa kuat. Mau tidak mau saya terus aktif bergerak, gymball, squat, shake the apple, joget dan sebagainya. Bahkan para bidan juga bilang "wah hebat pembukaan 7 masih bisa jalan-jalan". Saya hanya bisa tersenyum ketir haha. 

Saat itu bidan masuk dan minta untuk berbicara dengan suami saya. Bidan itu sudah dapat jawaban dari dokter yang menangani saya. Ah, saya sangat tahu, kalau itu adalah perizinan untuk sebuah tindakan, saya punya feeling saya harus di induksi. Saya sempat egois, saya merasa "nggak, sudah sejauh ini, saya mau alami saja". Tapi semakin ke sini gelombang cinta juga makin merajalera, dan saya sendiri sudah diambang menyerah, sempat terpikir unutk operasi caesar saja.

Akhirnya suami saya datang mengabari kalau diberikan waktu sampai jam 12 siang, kalau pembukaan masih stuck, akan dilakukan induksi. Saya pasrah dan ikhlas. Bagaimana pun ini pasti untuk yang terbaik bagi saya dan baby.

Jam 12 a.m - Induksi

Benar saja, pembukaan masih stuck di 7. Akhirnya induksi pun harus dilakukan, karena saya juga takut kehabisan tenaga untuk nanti proses mengejan (rasanya pengen cepet-cepet tidur gitu loh).

Saya diberikan obat pencahar untuk mengeluarkan feses (kebetulan memang saya belum pup). Oh my, terakhir saya melakukan ini adalah sebelum operasi kista. Rasanya memang tidak nyaman, tapi saya sendiri cukup tidak menentang proses ini karena saya pasti malu jika pup di tempat bersalin.

Kemudian saya dipasangkan infus untuk memasukkan obat induksi. Beberapa menit setelah obat dimasukkan, saya merasa tekanan yang luar biasa di rahim saya. Antara seperti rahim saya berontak, atau ingin pup. Saya merasa ingin mengejan yang tidak bisa tertahan. Kadang-kadang *mohon maaf* pup saya pun masih ada yang keluar karena saya menahan kontraksi yang berefek dari induksi. Kontraksi biasa saja sudah tidak nyaman, ini seperti 3x lipatnya.

Jujur bukan menakut-nakuti, tapi memang induksi rasanya seperti itu, saya kurang bisa mengontrol ekspresi saya ketika saya menahan gelombang cinta yang makin aduhai. Saya sampai agak teriak ketika tiap gelombang cinta datang, sambil menunggu pembukaan lengkap. Para bidan sampai ketawa. Asli. MALU. hahaha. Ilmu hypnobirthing nya kayaknya gak nempel di saya. Menurut saya kayaknya memang kepribadian asli kita bakal keluar pas lahiran. Kepribadian saya ya: panikan, manja, desperate, dll. wkwkw

Setengah jam setelah diinduksi, pembukaan langsung ngebut menjadi pembukaan 10. Saat itu bidan memanggil dokter Leri. Akhirnya saya bertemu dokter. Salah satu kalimat yang diucapkan dokter ketika awal bertemu saya yang saya ingat,
"Ibu belum pernah ketemu saya, tapi mau dilahirkan sama saya ya." kata dokter Leri ambil tersenyum. Cantik banget. Ada pembawaan tersendiri yang membuat saya nyaman dan tidak cemas. Saya jawab sambil cengengesan tapi udh keringetan, "hehe iya dok, terima kasih ya dok sudah mau bantu saya."


Mengejan

Saya berbaring dengan kaki ditekuk, seperti di film-film lah. Meskipun dalam hati sebenarnya masih ingin bersalin dengan cara nungging, tapi karena tidak di izinkan, jadi mau tidak mau seperti ini.
Saya mengejan dengan kuat, dokter bilang "Bu, kalau ibu mengejannya bagus seperti ini, tidak jadi saya gunting (episiotomi) nih." Saya pun langsung bersemangat mengejan lebih.. slow but sure? calm but powerful? haha intinya saya merasa edukasi mengejan saat prenatal yoga bermanfaat bagi saya. Selain itu teknik nafas perut dan "irit nafas" yang bertahun tahun saya pelajari selama jadi anggota paduan suara juga bermanfaat hahaha.
Proses mengejan berlangsung cukup cepat, sekitar 15 menit, dengan 4 kali sesi mengejan.


14.55
"ehaa ehaa ehaa"
Itu suara babyA. Saya ingat bunyinya seperti Eha instead of Owek Owek. Bayinya langsung sedikit dibersihkan oleh dokter dan bidan dan diukur, lalu di taruh di atas dada saya untuk IMD. 
Saat saya menulis ini saya lupa sejujurnya, saya tanya suami saya. Katanya saya bilang "Afkaa afkaa.. sini.." sebelum Afka IMD

Suami saya langsung mengadzankan babyA di telinganya selagi saya IMD. Saya hanya bisa melihat rambutnya yang ternyata ikal (haha), wajahnya ngumpet aja di bawah payudara saya. Suami saya mengambil foto satu-satunya ketika dia berada di dada saya. Sayangnya memang kami tidak sempat merencanakan fotografi persalinan, tapi yang penting kami punya foto untuk pribadi.

Dokternya akhirnya menjelaskan, kalau BabyA sulit turun panggul karena punya satu lilitan tali pusat. Entahlah betapa takdir menentukan seperti itu, padahal selama hamil hingga terakhir cek up seminggu yang lalu, tidak ada lilitan pusar sama sekali. Tapi saya bersyukur babyA sangat tenang dan pintar, sampai melahirkan detak jantungnya masih normal dan ketuban juga jernih dan pecah spontan.


**

Sungguh proses yang sangat panjang. Saya tahu banyak proses yang lebih panjang dan lebih cepat, lebih rumit dan lebih simpel. Selama saya bertanya pada teman-teman saya, tidak ada satupun proses melahirkan yang sama, karena semua kisah unik. Saya mensyukuri semua proses yang saya jalani, semoga cerita saya bisa menghibur, atau malah bermanfaat bagi teman-teman yang sedang hamil.

Bagaimana dengan cerita teman-teman pembaca? Apakah ada bagian yang mirip atau beda sama sekali? Bisa share di komen yaa :)



MY BIRTH STORY pt. 1 - flek dan kontraksi palsu

Minggu, 2 Desember 2018 - Flek dan Braxton Hicks

Usia Kehamilan 34 Minggu.
Cerita melahirkan saya mungkin bisa dimulai dari sejak usia kandungan memasuki 34 minggu, di mana saat itu mungkin saya tidak sadar kalau itu adalah tanda-tanda mendekati persalinan.
Saat itu saya harus pergi ke pernikahan sahabat saya di Jakarta. Hari sebelumnya, saya dan suami berangkat dgn KAI, karena menurut kami lebih nyaman menggunakan kereta daripada travel.

Saat di dalam kereta selama perjalan, tiba-tiba terasa dorongan dari dalam perut yang agak kuat. Saya mikirnya "apa baby A sedang ngulet?" Rasanya seperti tendangan tapi tidak mendadak. Mungkin ini hanyalah Braxton Hicks, atau kontraksi palsu, saya pikir.

Kontraksi palsu ini tidak muncul lagi sampai saya sudah di rumah orangtua saya di Depok. Hari minggu ini, saya cukup sibuk untuk membereskan barang-barang saya di Depok. Lagi-lagi saya dapat dorongan besar ini untuk decluttering barang-barang lama saya di Depok. Setelah  itu saya menghadiri kondangan di malam harinya.

Kagetnya, sepulang ke rumah, saya flek! Waduh panik, saya langsung mikir, mungkin memang karena saya cukup lelah seharian ini. Masalahnya ini baru usia kandungan 34 minggu, belum cukup bulan kalau harus melahirkan. Rencana pulang ke Bandung senin subuh pun batal karena saya masih flek di pagi hari itu dan memutuskan untuk ke dokter kandungan di Depok.

Saat ke dokter kandungan, alhamdulillah katanya masih aman, hanya kontraksi palsu, fleknya jg bisa disebabkan oleh kontraksi. Alhamdulillah detak jantung bayi, tekanan darah saya dan lainnya masih normal.  Hanya saja, cairan ketuban mulai sedikit berkurang dan saya diminta minum air putih lebih banyak. Selain itu, saya masih ada keputihan (sejak trimester pertama gak tau kenapa jadi keputihan parah), dan kata dokter mungkin hal itu yang menyebabkan kontraksi juga (karena bagian bawah kotor dan memicu kontraksi dan flek), sayapun diberikan obat vagina (lagi) untuk membersihkan keputihan.

Saya harus bed rest selama 3 hari, sedangkan suami harus pulang ke Bandung. Flek nya juga sudah hilang 2 hari. Setelah saya rasa baik-baik saja, akhirnya di akhir minggu saya pulang ke Bandung dan memutuskan untuk kontrol dengan dokter di sana seperti biasa.

Rabu, 19 Desember 2018 - Galau Tempat Bersalin

Usia Kehamilan 35 Minggu.
Minggu depannya setelah kejadian flek itu, saya cek ke dokter kandungan saya di Bandung, dan menceritakan kejadian di Depok. Beliau setuju kalau air ketuban saya berkurang. Selebihnya alhamdulillah normal, dan dijadwalkan untuk check lab di pertemuan selanjutnya.

Kebetulan saat itu saya sudah rencana ingin mengutarakan rencana Birth Plan saya ke dokter. Apa itu birth plan, bisa dibaca di postingan saya yang ini.

Saya: Dokter, saya kan berencana melahirkan di RS ini,  jika berkenan, saya ingin mengetahui bagaimana prosedur saat melahirkan, karena kan saya belum pernah melahirkan dok. Kemudian jika berkenan saya ingin menyampaikan birth plan say dok supaya ekspektasi saya sesuai.

*dokternya baca birthplan*
Dokter: "Ini yang ditulis di sini itu kan ideal semua, ya kita gak tau dong nantinya bakal gimana, bisa aja harus tindakan dll."

Saya: "Iya dok, saya paham, memang kondisi emergency bisa saja terjadi. Saya cantumkan juga dok di sini apabila ada tindakan yang harus dilakukan, saya bersedia dengan pemberitahuan terlebih dahulu. Paling tidak saya ingin tahu, apakah hal-hal yang ada di birthplan ini, dapat dilakukan ketika tidak ada kondisi emergency.

Dokter: *baca*.. gak gak yang ini gak bisa. *baca lagi* Kalo ini ya memang begini. *baca lagi* Klo ini kan udah prosedurnya begini*. Gini bu, di RS itu kan sudah ada prosedur.... *blablabla*

Ternyata, dokternya kurang menyambut dengan baik, entah saya salah ngomong, atau karena dokternya sudah tua jadi gak paham apa yang saya tulis, merasa saya itu  idealis atau merasa saya menyerang prosedur RS atau bagaimana. Padahal sebenarnya hak kita lho untuk menyampaikan Birth Plan. Saya nangkepnya kayak beliau merasa dia dan RS diserang gitu dengan kemauan saya. Intinya saya merasa bahwa di RS dan kecenderungan dokternya akan melakukan banyak intervensi medis dan tidak mengutamakan persalinan yang minim intervensi.

Saya jadi galau mau lahiran di RS tempat biasa saya check up, dan di waktu akhir trimester 3 ini saya malah mencari tempat lahiran baru. Akhirnya saya menemukan beberapa kandidat, yaitu Klinik Mutiara Cikutra, dan Bumi Ambu. Entah kenapa saya tidak terpikir dari awal untuk ke dua klinik tersebut, karena saya juga tidak terpikir untuk melahirkan di sebuah klinik. Saya biasanya mengikuti kelas Prenatal di Bandung, dan sebenarnya suka dengan klinik Harkel Bandung, tapi saya tidak pilih Harkel Bandung karena jauh dari saya, dan kebetulan RS rujukannya (jika terjadi gawat darurat), saya kurang suka. Jadi kalau melahirkan di klinik itu, memang diutamakan untuk bersalin normal pervaginam, tetapi kalau harus operasi Caesar, atau ketuban pecah duluan atau hal gawat darurat lain, klinik tidak bisa melayani hal tersebut karena tidak ada fasilitasnya. Sehingga pasti ada rumah sakit rujukan. Jadi bagi yang mau bersalin di klinik, lebih baik daftar juga di rumah sakit rujukan dan survey juga terkait RS rujukannya, agar lebih tenang apabila ada kondisi gawat darurat.

Sesampainya di rumah, karena saya dibilang ketubannya berkurang, saya kok merasa dalam hati cemas sekali. Cemas jika melahirkan preterm, atau ketuban pecah, huhu. Kemudian segala urusan perbayian yang masih saya cicil, tiba-tiba langsung saya kebut. Saya langsung beli peralatan bayi yang kurang, lalu mencuci semua baju, kain dan clodi bayi, melengkapi koper bersalin, membersihkan dan membereskan segalanya, dll. Saya cemas sekali, haha. Apalagi ada teman saya yang baru mengabari kalau dia tiba-tiba sudah lahiran karena ketubannya sudah minim dan disuruh untuk induksi dan melahirkan saat itu juga. Tapi mungkin ini adalah pertanda, atau hunch seorang ibu ya, kalau tanda persalinan sudah dekat.

Sabtu, 22 Desember 2018 - Masih Kelas dan Survey Klinik

Usia Kehamilan 36 Minggu.
Di usia kehamilan 36 minggu ini saya masih berkegiatan, saya baru mendapati kuota kelas Child Birth class di Harkel weekend ini, sabtu dan minggu. Di situ saya belajar lebih dalam tentang proses kelahiran.

Selama di kelas, saya beberapa kali merasakan perut tidak nyaman, seperti baby ngulet-ngulet terus, saya masih berpikir itu kontraksi palsu, kemudian saya hitung dengan aplikasi Baby Center. Saat itu kontraksi tidak beraturan, setiap satu jam sekali. Kebetulan saat itu fasilitator sedang menjelaskan mengenai kontraksi palsu. Saya pun menanyakan bagaimana sih rasanya beda kontraksi atau bukan. Katanya, kalau kontraksi itu perut depan sekeras dahi, kalau bukan, perut sekeras pipi. Lah, yang saya rasakan kok sekeras dahi ya? wkw. Jadi benar ini adalah kontraksi, tapi karena tidak beraturan, saya masih anggap itu kontraksi palsu.

Hari ini  pertama kali ke Klinik Mutiara Cikutra untuk menanyakan mengenai fasilitas di sana dan membuat janji dengan dokter Leri, dokter favorit bumil Bandung hehe. Saya dijadwalkan untuk bertemu di hari Kamis 26 desember, dan saya juga mencari rujukan cek darah terakhir dan jadwalnya hari Senin. Tapi saya punya sedikit feeling, kok saya kayak ga bakal ketemu dokternya ya? Karena punya feeling itu, saya jadi mencoba mencocokkan Birth Plan saya dengan bidan yang melayani saya. Dan saya punya feeling baik karena dapat tanggapan cukup baik dari para bidan, meski memang ada beberapa prosedur yang tidak dapat dilakukan seperti delay cord clamping dan melahirkan dengan posisi bebas, setau saya kalau di Harkel dan Bumi Ambu bisa lebih gentle birth, karena yang saya tahu bahkan di Harkel diajarkan cara agar sang ayah bisa memotong tali pusat anaknya.

Sayapun punya rencana survey ke Bumi Ambu di minggu depan itu setelah dari dokter Leri, tapi lagi-lagi saya kok feeling bakal gak jadi ke sana ya. Saya hanya bisa survey lewat telepon dulu, dan sebenarnya usia kehamilan saya sudah cukup besar untuk bisa diterima melahirkan ke sana. Soalnya setau saya kalau di Bumi Ambu itu ada semacam "seleksi" nya karena full gentle birth jadi harus menyelesaikan "tugas-tugas" yang diberikan, yakni misal olahraga dan pemberdayaan diri sejak awal hamil.

Senin, 24 Desember 2018 - Kontraksi 5 - 1 - 1

Usia Kehamilan 37 Minggu (pas).

Pagi ini saya cek aplikasi Baby Center seperti biasa. Your baby is 37 weeks old! Hari ini hari pertama memasuki kehamilan 37 minggu. Hari ini, seharusnya saya cek lab, tapi saya merasa perut saya tidak nyaman seharian, sering kontraksi palsu. Akhirnya saya batalkan check nya dan ingin tunda sampai hari Rabu, karena hari Selasa kan libur natal. Saya mencoba menghitung kontraksi dengan aplikasi contraction timer dari aplikasi Baby Center, kontraksi sangat tidak beraturan dan masih sekitar setiap jam. 

Saat jam 9 malam menjelang tidur, entah kenapa perut saya semakin tidak nyaman dan membuat saya tidak bisa tidur. Saya cek kembali menggunakan contraction timer. Lho kok polanya sudah 5 - 1 -1 ya. Alias
5 – KETIKA KONTRAKSI ANDA BERJARAK 5 MENIT
1 – BERDURASI 1 MENIT
1 – DAN BERADA DALAM POLA YANG SAMA SELAMA 1 JAM
Sumber: Bidan Kita

Jujur saya agak panik. Bukan karena mau lahiran sekarang, tapi karena ini masih jauh dengan HPL alias Hari Perkiraan Lahir yang masih 3 minggu lagi. BabyA pun baru saja memasuki usia 37 minggu hari ini, yakni usia kandungan minimal dianggap cukup bulan untuk melahirkan. Apakah nanti benar akan dianggap cukup bulan atau preterm ya? Saya pun belum sempat cek darah terakhir. Apa saya normal apa Hb saya rendah? (karena saya sempat riwayat Hb rendah)

Meski banyak yang saya pikirkan, tapi saya merasa ya mau gak mau harus lahiran, iya kan? Saya pun bilang ke suami saya kalau ini tandanya sudah mau lahiran, kami meutuskan ke klinik yang menjadi pilihan kami.  Beruntunglah saya sudah menyiapkan koper persalinan, meski ada beberapa barang yang belum saya masukkan karena masih saya pakai sehari-hari. Saat saya ke toilet sebelum berangkat, saya lihat ada flek seperti menstruasi. Baiklah, ini memang saatnya ke klinik.

Jam 11 malam, sesampainya di parkiran klinik Mutiara Cikutra, saya baru mulai merasakan mulas di area punggung saya, sama seperti menstruasi yang sudah lama tidak saya rasakan. Saya agak malu-malu gimana gitu, karena kan saya belum pernah check up di klinik ini, belum pernah ketemu dokter Leri, apa iya boleh lahiran di sini? Wong baru survey hari sabtu kemarin.

Saat dicek pembukaan oleh bidan, ternyata saya sudah bukaan 2 ke 3. Awalnya para bidan ragu, karena menurut HPHT, waktu cukup bulan bagi babyA adalah 3 hari lagi, dan kalau begitu harus ke RS karena dianggap preterm. Tapi setelah konfirmasi ke dokter, ternyata menurut perhitungan dokter Leri sudah memasuki usia cukup bulan dan beliau mau bantu kelahiran saya. Sungguh baik sekali dokter nya ya :") padahal belum pernah ketemu, huhu.

Jujur awalnya saya mau coba beritahu soal birthplan lagi khususnya untuk disampaikan ke dokter. Tapi ya kayaknya saya tau diri aja, udah yang dadakan, belom pernah ketemu pula, tapi entah kenapa saya feeling good terhadap dokter Leri (maklum dokter Favorit soalnya), jadi saya pasrah saja. Kalaupun ada apa-apa, RS rujukan klinik ini adalah RS tempat selama ini saya check up.

Saya telpon orangtua saya, orangtua saya tipe yang kaget kenapa saya pilih lahiran di klinik (kok kayak gak punya duit aja). Meski saya san suami sudah menyiapkan budget untuk melahirkan di RS, tetapi saya merasa kurang sreg dengan bayangan melahirkan di RS itu. Sedangkan RS lain bukan pilihan karena lokasinya yang lumayan jauh. Lagi-lagi, juga karena feeling. Saya pilih klinik ini juga karena kamar bersalinnya bagus dan homey sekali, serta alasan karena ditangani oleh Dokter Leri. Mungkin kalau saya tidak diterima oleh dokter Leri, saya bakal pindah ke tempat bersalin lain, hehe.

© Catatan Ibun | Parenting and Mindful Living • Theme by Maira G.